Selasa, 12 Februari 2019

Jujur, sudah beberapa bulan ini aku seperti kehilangan diriku sendiri. Kehilangan kegigihan, yang notabene merupakan kelebihanku sejak dulu, setidaknya begitu kata orang-orang terdekat. Kehilangan semangat. Kehilangan harapan. Entah bagaimana, yang kutahu aku sudah terjebak dalam lingkaran keputusasaan. Ditambah lagi, sejak aku dihadapkan pada kenyataan bahwa aku terlambat lulus, aku lebih sering mengurung diri di kamar. Aku meminimalisasi segala interaksi dan kontak dengan manusia, karena setiap kali melakukannya, ada rasa tidak nyaman dalam diriku, seperti tusukan tusukan kecil. Bahkan, aku menghindari telepon orangtuaku. Jadilah aku berkutat dalam perasaan sepi, sendiri, dihantui penyesalan dan rasa bersalah setiap hari. Jangankan mengerjakan skripsi, mengurus diri saja aku sudah malas. Keinginan bunuh diri pun terlintas di benakku setiap hari.

Aku benar benar tidak tau kenapa diriku jadi seperti itu. Aku mulai berpikir mungkin aku depresi dan ingin berkonsultasi ke psikiater. Tetapi, aku ragu apakah ke psikiater akan benar-benar bisa membantu. Aku tak yakin apakah mentalku memang sedang sakit atau aku saja yang sedang mendramatisir anggapan kegagalanku. 

Singkat cerita, suatu hari tanggung jawabku di dunia nyata yang sudah lama kuabaikan menjadi semakin berantakan dan rumit. Situasi itu membawaku kepada keputusan menonaktifkan sosial media yang jadi tempat pelarianku atas semua tekanan--twitter--lima hari lalu. Alasanku cuma satu : aku ingin mengurangi ketergantunganku pada sosial media itu. Aku menyadari bahwa aktif di twitter menjadi hobi yang memberikan kesenangan semu padaku sejak lama, tapi aku mengabaikan perasaan itu. Aku ingin non aktif dari twitter setidaknya sampai aku sidang tugas akhir,  dengan harapan bisa fokus pada tanggung jawabku di dunia nyata dan menemukan hobi baru yang dapat membuatku merasa produktif serta mengalihkan perasaan perasaan negatif dalam diriku.  

Tiga hari hiatus dari twitter, aku terus tergoda untuk kembali. Aku melakukan berbagai cara untuk mengalihkan godaan untuk kembali. Aku mencoba merawat diri sebagaimana mestinya dan kembali beribadah, berdoa kepada Allah. Meminta kekuatan untuk melawan kemalasan, melawan diri sendiri. 

Kemarin lusa, malamnya aku terjaga. Niatku aku ingin mengerjakan skripsi saja, tetapi baru menulis dua-tiga kalimat aku sudah bosan. Aku malah mendapat inspirasi untuk bikin puisi. Jadilah aku menulis puisi berdasarkan apa yang kupikirkan saat itu dan kemudian ku publish di sini. Setelah publish puisi kemarin, aku merasa bahagia. Aku merasa lega, tenang. Aku merasa mampu. Aku merasa mendapatkan sepercik kekuatan. Ada rasa percaya diri kecil yang terbit dalam diriku.  Aku merasa mungkin menulis bisa menjadi sarana healing untukku. Aku bertekad untuk menulis sesering mungkin.

P.S. : Sampai tulisan ini dipublish, alhamdulillah aku masih belum mengaktifkan twitterku :)

A FLASH FICTION WRITTEN BY ME #3: TANTANGAN ABSURD

(Writer notes : I know dialognya terkesan terlalu random, but i still want to post it anyway. Hope you enjoy reading hehe. As always, i'll be happy if you leave some comments, critics, or suggestions!^^ It makes my writing skills developed :D Sorry if there any harsh word or typos.)

"Ngapain sih kek gitu dipikirin. Lo tuh emang ya.", dia mulai sewot.
"Emang apa?", tanyaku.
"Emang manusia. jawabnya santai.
"Lah emang biasanya apa?, nada bicaraku mulai meninggi.
"Siluman kebo, sajennya keripik singkong. HAHAHAHA", ejeknya.
"Baek baek itu mulut copot ntar.", aku mengeluarkan ultimatum mentah.
"Njir. Horror amat. Kayak di film Lucy.", balasnya
"Tapi serius ya, gue lebih nyaman sama lo yang rada rada sedeng gini.", katanya lagi.
"Taiii...lor swift. Itu muji apa ngeledek sih?", mataku menatapnya tajam.
"Lo berani ga nerima tantangan gue?, tanyanya sok misterius
"Apa?", jawabku.
"Kalo lo emang segitu pengennya jadi orang kayak gitu, gue akan bantu lo latihan. Lo harus mulai percakapan dengan pertanyaan pertanyaan random yang kepikiran di otak lo. Lo harus nanya nanya random ke 5 orang setiap hari. Dan percakapannya harus ada maksimal 10 kalimat. How? ", dia tersenyum jahil.
"Se..sepuluh?", aku bergidik ngeri membayangkannya.
"Right, ten hooman. I know you're afraid.", senyum jahil terpampang nyata di wajahnya.
"Nnn..no! Why i have to?!, balasku cepat, berlagak sok berani padahal di dalam hatiku aku membenci mulutku yang hobi sesumbar.
"DEAL! Kalo lo kalah lo harus teriakin dialog dialog di film dilan sekenceng-kencengnya di atap gedung b lantai 5 ya. Kalo gue kalah gue akan ngelakuin hal yang sama tapi di depan rektorat dan pake toa. Setuju? Hukuman lo masih enak tuh, di atap paling yang denger dedemit., katanya asal.
"Kalo gitu mah judul filmnya jadi 'Dilan Demo BBM', kataku.
"Setuju gak?", tanyanya lagi.
Aku terheran memikirkan betapa gila dan weird nya orang ini.
"Oke!", sahutku mantap. Sepertinya aku ketularan gila.


***

Senin, 11 Februari 2019

Ketika Aku Rapuh


Pujian membunuh
Harapan runtuh
Semangat luruh
Dalam sekejap, aku jadi rapuh

Mamaku berkata, tak apa apa
Rapuhku ini peringatan Allah kalau aku bukan apa apa
Hanya segumpal tanah yang diberi nyawa
Kecil, remeh, tak punya daya

Aku bilang aku ingin mati saja
Sungguh mati lebih baik bagiku daripada jadi beban orang orang tercinta
Sungguh tak dilahirkan lebih baik bagiku daripada bikin malu orangtua
Aku kehilangan diriku yang dulu gigih dan penuh asa

Mama tersenyum, matanya berkaca-kaca
Kamu anakku, katanya
Orangtua takkan pernah malu terhadap anak yang dibesarkannya
Anak yang dibesarkannya berhasil berjuang sampai titik ini, orangtua mana yang tak bangga?

Air mata melimpah ruah membasahi pipiku
Di saat kurasa diriku tiada guna, hanya orangtua yang tetap berada disisiku
Bangkitlah, anakku, katanya sambil mengelus pipiku
Jangan sia siakan perjuanganmu
Kuyakin kelak kau akan jadi orang yang bermanfaat bagi orang di sekitarmu